Penulis: Siti Aulia Umami, Mahasiswi FKIP UMS
Menindak lanjuti penyebaran Covid_19 pemerintah membatasi aktivitas masyarakat yang bersifat sosial. Pembatasan itu sangat terasa dampaknya dalam ranah pendidikan sejak diberlakukannya Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) di sekolah awal April lalu. Pemberlakuan tersebut berpengaruh bagi seluruh elemen sekolah baik guru, siswa, dan orangtua.
PJJ telah dilakukan hampir di seluruh wilayah Indonesia. Media komunikasi menjadi perantara yang digunakan untuk melancarkkan proses belajar mengajar. Baik siswa maupun guru dituntut untuk dapat menguasai kemajuan teknologi agar dapat melakukan pembelajaran dua arah. Bagi sebagian masyarakat di belahan Indonesia bagian barat mungkin sudah terbiasa dan menjadi konsumsi sehari-hari dengan sesuatu yang berbau “online”. Sehingga masyarakat di sana sudah siap untuk menghadapi PJJ.
Berbeda dengan keadaan masyarakat di Indonesia bagian timur khususnya di Kolaka, Sulawesi Tenggara, di sini saya tidak bermaksud melabeli bahwa masyarakat di timur gaptek atau terbelakang dalam hal teknologi. Sebagian besar masyarakat di sini kurang terbiasa dengan sesuatu yang bersifat “online”. Terlihat dari masyarakat yang memiliki latar belakang pekerjaan informal. Pekerjaan ini tidak terlalu memerlukan media sosial untuk aktivitasnya.
Dengan menyebarnya virus Covid_19 di berbagai wilayah Indonesia pemerintah menekankan kepada masyarakat untuk mengurangi interaksi tatap muka dan menggantikannya dengan interaksi secara online. Hal ini membuat masyarakat yang memiliki latar belakang pekerjaan seperti bertani, beternak dan mencari ikan tidak terbiasa menggunakan media komunikasi. Akibatnya, bisa mempengaruhi kesiapan anak-anak mereka dalam menghadapi PJJ yang diberlakukan pemerintah beberapa bulan yang lalu.
Pada satu kesempatan saya bertemu dengan salah satu siswa yang saat itu seharusnya mengikuti kelas online, tetapi siswa tersebut sibuk membantu pekerjaan orang tuanya berjualan di pasar. “Maaf Bu, sekarang saya bantu dulu ibukku jualan karena belum ada uang untuk isi pulsa, jadi belum bisa ikut belajar,” ujar siswa tersebut.
Ada juga siswa yang meminta ijin melalui Whatsapp untuk diberikan dispensasi waktu mengumpulkan tugas dikarenakan satu handphone yang harus digunakan secara bergantian oleh lima orang yaitu, kedua orangtuanya dan dua saudaranya yang lain.
Sedangkan dari prespektif orang tua ada yang ingin diikutkan dalam kelas daring agar bisa memantau keaktivan anaknya. Juga ada beberapa orang tua yang tidak memedulikan kelas daring dengan meminta ijin kepada guru untuk meninggalkan kelas daring karena dirasa mengganggu pekerjaannya.
Menanggapi hal tersebut seorang guru yang saya wawancarai di sekolah mengatakan “PJJ adalah Langkah terpaksa yang harus dikerjakan, mau atau tidak mau suka atau tidak suka itu merupakan Langkah yang harus dilakukan. Dalam pelaksanaannya banyak kendala yang ditemukan di lapangan,” ujarnya.
Menurutnya dalam pelaksanaannya masih banyak kendala yang ditemukan di lapangan. Memang ada alternative lain yang bisa diterapkan seperti pembelajaran luring dan kombinasi pembelajaran daring luring. Namun lagi-lagi terkendala dengan ketidak sempurnaan sekolah menyediakan protocol Kesehatan atau aturan protocol yang harus dipenuhi siswa sendiri.
Di akhir wawancara guru tersebut menyatakan bahwa kendala PJJ dapat menjadi evaluasi bagi pemerintah untuk memikirkan pelaksanaan pendidikan sampai ke daerah-daerah terpencil. Selain itu perlu kerjasama yang solid dan pengertian yang mendalam dari guru, siswa dan orang tua agar terbentuknya PJJ yang lebih baik.(*)