Ismail Fahmi. (Foto: MUIDigital)
JAKARTA, medinavoyage.id – Founder Drone Emprit, Ismail Fahmi mengajak masyarakat memahami proses literasi digital agar tidak mudah terpengaruh oleh informasi palsu. Kata dia, langkah pertama yang harus dilakukan yaitu tidak langsung mempercayai setiap informasi yang beredar di internet.
“Simpel. Ketika semua informasi datang, jangan langsung percaya. Jangan langsung percaya apa pun yang ada di internet. Itu nomor satu prinsipnya,” ujarnya usai kegiatan FGD Pengendalian Informasi Hoaks di Era Digital yang digelar Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini, mengutip MUIDigital di Oakwood Hotel, Jakarta Timur pada Kamis, (20/2/2025).
Selain itu, Ismail yang juga Wakil Ketua Komisi Infokom MUI ini juga menekankan pentingnya melakukan verifikasi sebelum menyebarkan informasi kepada orang lain.
“Ketika kita memang benar-benar ingin mempercayai, misalnya ingin menyebarkan lagi ke saudara kita, ke grup kita, atau yang lain-lain, kita harus cek dulu. Tabayun, yaitu perintah di Alquran surat Al-Hujurat ayat 6,” jelasnya.
Kemudian, untuk memastikan kebenaran informasi, masyarakat dianjurkan melakukan pengecekan melalui mesin pencari seperti Google. Dia menyoroti fenomena penyebaran hoaks yang sering kali muncul dalam bentuk tangkapan layar menyerupai tampilan media kredibel, padahal berasal dari sumber yang tidak terpercaya.
“Kadang-kadang seolah-olah screenshot dalam bentuk foto, foto screenshot dari sebuah artikel, media, tampilannya seperti media yang kita sering lihat. Misalnya tampak seperti Detik, tampak seperti Kompas, padahal nggak,”katanya.
Lebih lanjut, dia mengingatkan bahwa menyebarkan informasi hoaks juga memiliki konsekuensi moral dan agama. “Kalau sudah kita itu, kita ikut menyebarkan. Apa yang terjadi? Hukumnya apa? Kita dosa, kan?” tegasnya.
Selain tidak langsung mempercayai informasi dan melakukan verifikasi, dia juga memberikan strategi dalam menanggapi penyebaran hoaks di grup percakapan, seperti WhatsApp.
Dia menyarankan agar koreksi terhadap penyebar hoaks dilakukan dengan cara yang bijak, seperti melalui pesan pribadi (japri), terutama jika penyebarnya adalah orang yang lebih tua atau memiliki posisi tertentu dalam keluarga atau komunitas.
“Koreksi terbuka, mereka malah defensif ya, kemudian membela diri. Bisa jadi itu orang tua kita, mertua kita, atau mungkin kawan-kawan kita sendiri. Japri aja. Jadi, sampaikan. Lewat jalur pribadi. Kasih tahu, mohon maaf, ini kok sepertinya saya dapat data yang lain seperti ini,” sarannya.
Di sisi lain, perubahan cara generasi muda dalam mencari informasi juga menjadi perhatian. Dia mengungkapkan bahwa saat ini, banyak anak muda lebih mengandalkan media sosial seperti TikTok dibandingkan Google untuk mendapatkan berita.
“Saya bisa bilang kalau saya punya dua anak muda, anak saya Gen Z juga. Ya pernah suatu ketika saya tanya, sebuah informasi waktu itu terkait perang Israel sama Palestina contohnya. Waktu dia mempelajari itu, ini yang benar siapa sih? Yang apakah Israel atau mungkin Palestina? Nah, dia tidak melakukan googling, dia tidak cari internet lewat Google. Tapi yang dilakukan apa? Tik-Toking, nyari informasi lewat TikTok,” ungkapnya.
Oleh karena itu, dia menekankan pentingnya membekali anak muda dengan kemampuan memilah informasi yang valid.
“Gimana menggunakan TikTok mendapatkan informasi yang valid. Gimana menggunakan Instagram, Twitter, Facebook, tapi informasi-informasi yang valid. Nah, cara-cara ini harus kita pelajari, supaya tetap menggunakan metode yang kekinian, tetapi tidak salah jalan,” pungkasnya.
Dengan demikian, dia terus mendorong masyarakat untuk lebih kritis dalam menerima informasi serta aktif berpartisipasi dalam menangkal hoaks demi menjaga ketertiban di ruang digital.