Anis Toma (kiri) dan moderator Rizaldy Pedju. Foto/ist
MANADO – Wacana radikalisme yang disuarakan pemerintah menuai kontroversi. Muncul dugaan ini hanya proxy negara untuk mengalihkan masalah yang sebenarnya tengah terjadi. Meski demikian diakui juga jika radikalisme itu memang fakta. Membedah persoalan tersebut KAHMI Manado mencoba merajut gagasan para aktivis dalam diakusi Pengajian Inklusive bertema Proxy Radikalisme Fiksi atau Fakta.
Waktu dua jam rasanya tidak cukup bagi puluhan aktivis muda untuk menemukan titik temu tentang radikalisme fiksi atau fakta.
Diskusi yang diramu KAHMI Manado di sebuah warung kopi 69, Perkamil, akhir pekan lalu itu melahirkan dua pandangan berbeda.
Malah pemantik dialog Anis Toma MAg mengakui radikalisme ini proxy. Bisa hanya fiksi dan bisa menjadi fakta.
“Saya pun tidak berani menyimpulkan apakah radikalisme ini sengaja diciptakan oleh kelompok tertentu atau memang negara melihat ada gejala radikalisme di tengah warga,”tandas Kepsek MIN 2 Manado itu.
Pengajian yang dipandu moderator Rizaldy Pedju MH diawali penjelasan Presidium Kahmi Manado Idham Malewa.
Kata Idam, radikalisme menjadi boming di mana-mana. Makin masif di era pemerintahan Jokowi jilid 2. Melalui Menkopolhukam dan menteri agama.
“Pengajian bulanan ini adalah kerinduan bagi Alumni HMI Kota Manado guna menjalin silaturahmi dan peka terhadap tema kontekstual. KAHMI mampu menjawab tantangan sebagai agen of changes yang progresif,”tuturnya.
Selain itu, jurnalis senior ini menegasikan agenda tradisi intelektual tak ada kaitan dengan
Muswil KAHMI Sulut dan agenda politik 2020,.
Rizaldy mengantar diskusi dengan sedikit mengurai definisi radikal (radiks).
“Isu radikalisme di Indonesia mulai mengundang keresahan. Isu ini terus berkembang dan dianggap gerakan yang dapat merenggangkan integritas bangsa dan bernegara,”jelas dosen muda IAIN Manado.
Pengajian perdana KAHMI Manado setelah istirahat selama setahun lebih, dihadiri puluhan aktivis muda. Di antaranya Sekretaris PPP Sulut Agus Abdullah, Wakil Ketua KNPI Sulut Iswadi Amali, Wakil Ketua Pemuda Muslimin Sulut Fadly Kasim, Ketua BM PAN Sulut Faisal ‘bang Toyib’ Salim, Sek BM PAN Gilang Ramadhan, Ketua Tidar Sulut Syarif Darea, Sekum PAN Manado/KAHMI Minut Ronal Salahuddin, Aktivis Muhammadiyah Jeffry Alibasyah, Komisioner Bawaslu Bitung Zulkifli Densi, Hadi, Ketua Bawaslu Boltim Haryanto, Ketua Prisma Sulut Dr Mardhan Umar, Wakil Dekan Tarbiyah IAIN Manado Dr Feiby Ismail dan para aktivis Suling Manado. Dari KAHMI ada Anggota Presidium KAHMI Manado Fadilab Polontalo dan dr Zainal Ginsu, Sekum KAHMI Manado Mazhabullah Ali serta Ketum HMI Manado Iman Karim dan pengurus HMI Manado lainnya.
Anis membuka dialog dengan menegaskan makna radikal sesungguhnya.
Radikal secara etimologi adalah hal secara mendasar (principle).Radikalisme perlu dipandang dari 2 kacamata yang berbeda. Radikal positif dan serta radikal negative.
“Radikal positif maksudnya adalah secara mendasar kita pegang sebagai suatu prinsip hidup kita, misalnya terkait keyakinan (iman), nasionalis dan hal-hal prinsip lain terkait kemanusiaan. Sedangkan negatif maksudnya prinsip kita yang paling benar dan prinsip orang lain salah atau dalam Islam kita bisa katakan mudah mengkafir-kafirkan orang yang berbeda madzab atau aliran dengan kita,”tutur mantan Ketua Komisariat IAIN Manado ini.
Anis menyentil mengangkat sejarah dalam di zaman sahabat nabi telah ada peristiwa yang melatarbelakangi kelompok yang melahirkan gerakan radikal.
“Misalnya peristiwa lahirnya kelompok Khawarij , antara kelompok Muawiyah dan Ali bin AbiThalib. Khawarij merupakan suatu kelompok/aliran pengikut Ali bin Abi Thalib yang kemudian keluar dan meninggalkan barisan karena ketidaksepakatan terhadap keputusan Ali yang menerima arbitrase (tahkim), dalam perang Shiffin pada tahun 37 h/648 M dengan kelompok Muawiyah bin Abu Sufyan persengketaan khalifah.
“Ada juga Peristiwa 11 September 2001 di Amerika mengakibatkan runtuhnya Gedung WTC oleh kelompok Al-Qaeda dipimpin oleh Osama Bin Laden. Dari sini lahir stereotip bahwa Islam identik dengan radikal sehingga label itu menyebar yang akhirnya lahir Islamophobia,”tandasnya.
Anis mengatakan ada 4 Faktor benih radikalisme. Faktor Ekonomi, Politik, Psikologi dan Pendidikan. Ke empat faktor ini bisa jadi faktor utama suatu individu atau kelompokmenjadi radikal. Terkait radikalisme itu fakta atau fiksi, kata Anis bahwa kita tidak bisa menutup mata adanya fakta kelompok radikal di Indonesia.
“Namun di sisi lain adanya suatu grand desain bahwa umat islam sebagai lakon opera yang dimainkan aktor intelektual global yang hendak mengembangkan isu Islamophobia juga adalah suatu fakta tersendiri yang menggiring bahwa tumbuh suburnya radikalisme di Indonesia adalah suatu fiksi belaka,”ujarnya.(tim)