Penulis: Riza Tamami, Mahasiswa FAI UMS
Negeri ini lahir dari keragaman nusantara. Perbedaan suku, agama dan budaya disatukan oleh tema besar merebut kemerdekaan dari cengkeraman kolonial.
Namun, setelah 75 tahun para penjajah pergi dan kemerdekaan dapat direngkuh kita kehilangan tema besar untuk bersatu.
Tema besar itu sudah hilang di isi oleh perebutan hegemoni antar kelompok. Jika kita tengok halaman awal dalam buku sejarah kita, nampak peristiwa Piagam Jakarta, lahirnya Nasakom, pemberontakan G30s PKI. Hal ini menandakan tiap kelompok saling berebut pengaruh dalam mengisi ideologi besar republik ini setelah di tinggal penjajah.
Pancasila pun lahir sebagai dasar negara. Pancasila adalah titik temu dari keragaman agama, suku dan etnis di Indonesia. Maka Pancasila adalah simbol persatuan Indonesia. Dengan adanya Pancasila, persatuan Indonesia dapat tersemaikan di tengah keragaman.
Tapi Pancasila adalah benda mati. Ia digerakkan oleh makhluk hidup bernamanusia. Jadi sebaik apapun sistem, jika manusia-manusianya buruk akhlaknya, ibarat sebuah kapal, kapal itu pada akhirnya akan tenggelam ke dasar lautan.
Di negeri kita berada masih banyak feodalisme dan oligarki kekuasaan. Itulah mereka bernama manusia yang buruk akhlaknya. Mereka menaiki tahta atau merebut kekuasaan antar pribumi guna memuaskan syahwat kelompoknya. Tidak ada peduli perbuatanya itu membuat kelompok lain sengsara dan menderita.
Dengan demikian, agenda besar kita adalah melawan feodal dan oligarki. Sudah saatnya kita genggam erat alat pemersatu bangsa yaitu Pancasila. Bukan untuk menggebuk kelompok lain dan menganggap kelompoknyalah yang paling Pancasilais. Tapi kita gunakan untuk melawan praktik oligarki dan feodal di negeri ini. Sehingga sinar matahari (baca: keadilan) bisa di rasakan petani kecil yang menanam bawang di sawah samping rumahnya yang lapuk dan juga dapat di rasakan pejabat besar yang duduk manis di ruangan ber AC. Itulah keadilan yang merata, menyentuh semua lapisan masyarakat.(*)