K.H Ibrahim. (Foto : Tirto.ID)
Oleh: Fatimah Wahab Aliun, S.Kep., Ns. Dosen Pengampu : Erna Rochmawati, Skp., MNSc, M.Med,Ed, Ph.D, (Magister Keperawatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta)
K.H Ibrahim lahir di kauman Yogyakarta pada tanggal 7 Mei 1874. K.H Ibrahim adalah ketua Hoofd Bestuur Muhammadiyah Hindia Timur ke dua setelah K.H Ahmad Dahlan periode 1923 sampai dengan 1932. K.H Ibrahim yang selalu mengenakan jubah panjang dan sorban dikenal sebagai ulama besar dan berilmu tinggi dan memiliki perhatian yang besar kepada kaum muda dan kaum wanita dalam muhammadiyah. K.H Ibrahim waktu masa kecilnya diajarkan dalam asuhan orang tuanya dengan mengkaji Al-Quran sejak usia 5 tahun.
Ia juga dibimbing untuk memperdalam ilmu agama oleh saudara kandunganya yaitu K.H M. Nur, K.H Ibrahim selain menjabat sebagai ketua pimpinan pusat muhammadiyah juga menangani sendiri serta memberikan bimbingan dan pengawasan terhadap Aisyiyah maupun pemuda muhammadiyah. K.H Ibrahim juga bergabung serta senantiasa mendampingi dalam kegiatan Hizbul Wathon. K.H Ibrahim juga memimpin pengajian kaum ibu-ibu yang dikenal dengan nama Adzdzakirat, pengajian ini banyak memberikan jasa kepada muhammadiyah dan Aisyiyah seperti membantu pencarian dana untuk kas muhammadiyah dan Aisyiyah, PKU, bagian tabligh, dan bagian taman pustaka (Khoironi, 2020).
K.H Ibrahim hafal (hafidh) al-quran dan ahli qira’ah (seni baca al-quran), serta mahir berbahasa arab. K.H Ibrahim pernah dikagumi oleh banyak orang ketika ia dalam pembukaan pidato dengan menggunakan bahasa arab yang begitu fasih (khutbah al-arsyi) atau saat ini sering disebut (khutbah iftitah). Selama kepemimpinan K.H Ibrahim di muhammadiyah bersama anggota pimpinan yang lain, muhammadiyah mampu berkembang sebagai organisasi dakwah dan social kemasyarakatan secara maksimal, semua hasil pemikiran dan amal usaha yang dilakukannya K.H Ibrahim banyak memberikan kontribusi bagi muhammadiyah dan gerakan islam serta masyarakat umum.
K.H Ibrahim pernah menunaikan ibadah haji pada usia 17 tahun serta melanjutkan untuk menuntut ilmu di Mekkah selama kurang lebih 7-8 tahun. Pada saat K.H Ibrahim pulang ke tanah air ia mendapat sambutan yang baik dari masyarakat dan banyak orang yang mengaji kepadanya. Pengajian yang diasuh K.H Ibrahim memakai metode sorogan dan weton.
Sorogan adalah mengaji dengan diajar satu persatu terutama untuk anak-anak muda yang ada di kauman pada saat itu, sedangkan weton adalah kyai membaca Al-Qur’an sedangkan santri-santrinya memegang kitab masing-masing. Dalam menerapkan dua macam metode tersebut ia menggunakan waktu yang berbeda yaitu pada pagi hari mulai 07.00 sampai 09.00 dengan cara sorogan dan pada sore hari setelah ashar sampai pukul 17.00 dengan cara weton (Rohayati, 2009).
Nilai-nilai kebaikan yang dilakukan oleh K.H Ibrahim pada saat menjabat sebagai ketua yaitu ia sangat peduli terhadap kaum pemuda di mana pada tahun 1924 ibrahim mendirikan fonds dachlan yang bertujuan menggalang dana untuk membiayai sekolah anak-anak miskin. Pada tahun 1925 juga Ibrahim mengadakan khitanan massal, disamping itu ia membuat semacam program “menjodohkan putra-putri keluarga Muhammadiyah”.
Dengan cara ini Ibrahim ingin mencetak kader-kader inti yang akan mengemban tugas kemuhammadiyahan ke depan. Secara umum Ibrahim banyak memberikan kebebasan bagi angkatan muda untuk mengekspresikan aktivitasnya di muhammadiyah. Dan secara khusus tercatat bahwa Ibrahim suka menerima santri-santri muda yang hendak belajar kepadanya dengan metode sorogan dan weton tersebut.
Kemudian pada tahun 1928 ia peduli (pemerataan) pendidikan, di masa ini Ibrahim mengirim putra putri lulusan sekolah muhammadiyah (Mu’allimin, Mu’allimat, Tabligh School, Normal School) ke seluruh pelosok Indonesia, program ini dikenal sebagai “Anak panah Muhammadiyah”. Pada tahun 1929 ia mendirikan badan usaha penerbit buku sekolah muhammadiyah di bawah naungan Majelis Taman Pustaka (Hartati. Z, 2015).
Gaya kepemimpinan yang bisa diambil dari K.H Ibrahim adalah beliau seorang pemimpin yang menjalankan tugas nya sebagai ketua kemuhammadiyahan. Dari beberapa yang dilakukan kepada masyarakat bahwa beliau sebagai pemimpin yang hafal Al-qur’an dan fasih dalam bahasa arab yang dapat mengubah moral dan memotivasi kaum anak muda dan ibu-ibu untuk melakukan suatu perlakuan yang baik, tawakal dan senantiasa berpihak pada jalan Allah SWT.
Hal ini termasuk dalam teori kepemimpinan transformasional, oleh karena itu gaya kepemimpinan ini dapat menginspirasi dan memberdayakan individu, kelompok dan organisasi dengan cara mentransformasi dengan memberikan contoh yang positif kepada pegawai maupun orang lain dan nilai-nilai organisasi menuju kemandirian (Sinaga, N, dkk, 2021).
Referensi:
Hartati, Z (2015). Peranan Kyai Haji Ibrahim dalam Dakwah dan Pendidikan. DOI:10. 18592/al-banjari.v11i2.427.
Khoironi (2020). Kyai Haji Ibrahim (Ketua 1923 – 1933). https://muhammadiyah.or.id/kyai-haji-ibrahim/
Rohayati, L, B (2009) K.H. Ibrahim Kepemimpinan Dan Perjuangannya Dalam Muhammadiyah (1923-1932 M). Skripsi Thesis, SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA.
Sinaga, N dkk (2021). Konsep Kepemimpinan Transformasional. Jurnal Ilmiah Indonesia, 1 (7), 840-846.